Selasa, 05 Januari 2010

SEJARAH PEMBATIKAN DI PEKALONGAN

SEJARAH PEMBATIKAN DI PEKALONGAN

Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.

Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.

Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.

Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.

Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.

Dari catatan sejarah, ada tiga kriteria batik Pekalongan. Pertama, batik pribumi. Batik ini dibuat dengan selera gaya pribumi. Motifnya tidak terikat dengan ketentuan raja-raja sehingga lebih bebas. Batik ini mengikuti perkembangan pasar dengan produksi yang cepat laku di pasaran.
Kedua, batik encim. Batik ini diproduksi oleh masyarakat keturunan China dan digolongkan menjadi tiga yang didasari motif atau ragam hias buketan, budaya China dan ragam lukisan. Ketiga, batik Londo, yang dibuat sebagian besar masyarakat keturunan Belanda. Hiasannya tentu dipengaruhi oleh selera/budaya Belanda.
Tiga golongan batik Pekalongan itu berkembang berdampingan dan masing-masing memiliki pembeli sendiri. Namun, diakui orang bahwa batik pribumi merupakan yang tertua di antara ketiganya, meski tidak ada catatan kapan dan oleh siapa batik itu dibuat. Yang pasti, batik itu sudah ada sebelum pedagang China dan Belanda berniaga ke Pekalongan.
Menurut dia, batik Pekalongan mencapai kejayaannya sekitar tahun 1850, antara lain produksi Eliza Van Zuylen, Oey Soen King, dan sampai menjelang perang dunia II dikenal juga batik produksi Ny Sastromulyono.

Mengenai perkembangan batik Pekalongan sejak abad-19 sampai sekarang, menurut Dudung Alisyahbana, cukup berkembang pesat. Lihat saja, tentang munculnya Batik Jawa Hohokai yang dikatakan sebagai karya batik terindah sepanjang sejarah batik di Jawa.
Batik yang diproduksi di Pekalongan 1942-1945 itu muncul setelah perang dunia II. Dampak perang itu terjadi pendudukan Jepang di Indonesia. Akibatnya, terjadi putus hubungan perdagangan dengan Belanda. Perdagangan mori dan obat pewarna terputus, sehingga persediaan menipis. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Pada masa ini pembatik Pekalongan membuat batik baru, yang lebih rumit dan dibuat dengan sistem padat karya, dengan tujuan memperlambat dan tidak kehilangan pekerja. Hasilnya luar biasa, yang banyak dikenal Batik Djawa Hokokai.

Tidak ada komentar: